Kamis, 15 Oktober 2015

kebijakan agraria dan politik agraria pra kemerdekaan

Politik Agraria Masa Pendudukan Militer Jepang hingga Proklamasi Kemerdekaan
Posting 08 Nov 2013 | Kategori Artikel

Pemerintah militer Jepang mulai menduduki Indonesia, menggantikan posisi pemerintah kolonial Hindia-Belanda semenjak tahun 1942. Jepang hendak membangun semacam persemakmuran Asia Timur Raya, dengan Kekaisaran Jepang sebagai pemegang kuasa militer, politik, dan ideologi, dan daerah-daerah pendudukan dan taklukan, termasuk Indonesia, sebagai penyokongnya. Dengan menggencarkan semboyan Jepang pemimpin Asia, Jepang pelindung Asia, dan Jepang cahaya Asia, Jepang mempropagandakan diri sebagai saudara tua bangsa Asia (Hakko Ichiu) yang bertujuan membebaskan Indonesia dari penjajahan. Luasnya  Asia Timur Raya, membuat Jepang memerlukan tenaga yang begitu besar, terutama untuk perang dan infrastruktur pendukung perang.

Para peneliti telah menunjukkan bahwa politik pemerintahan fasis Jepang dicirikan oleh mobilisasi dan kontrol terhadap rakyat (Kurasawa 1988, 1993, Sato 1994, dan Eng 2008). Pada wilayah-wilayah yang langsung di bawah pendudukan balatentara Jepang, mobilisasi dan kontrol atas rakyat dilakukan secara fasis, termasuk dengan membentuk berbagai organisasi wilayah  mulai dari yang paling rendah, Tonarigumi (Rukun Tetangga, RT) dan Azzazyokai (Rukun Kampung, RK/sekarang RW). Untuk secara langsung menjadi tenaga-tenaga perang, Jepang membentuk Seinendan yaitu untuk mendidik dan melatih pemuda Indonesia dengan kepanduan, Keibodan untuk pertahanan sipil pembantu Polisi, Fujinkai para perempuan muda terlatih, beserta dua unit pasukan militer penuh, yaitu Peta dan Heiho. Untuk membangun kepatuhan sehari-hari, rakyat diwajibkan melakukanseikerei setiap pagi, yaitu memberi penghormatan kepada Kaisar Jepang dengan cara membungkukkan badan ke arah matahari terbit. 

Pengalaman rakyat hidup di bawah penguasaan Jepang di Indonesia sangat bervariasi, bergantung di mana mereka hidup, status kelas sosial mereka, ras mereka, dan juga apakah mereka laki-laki atau perempuan. Rakyat pada umumnya, mengalami penindasan secara fasis. Tenaga kerja dari daerah yang padat penduduk seperti Jawa dimobilisasi secara paksa untuk membangun infrastruktur perang, termasuk jalan raya, jembatan, jalan kereta, lapangan udara, gudang-gudang senjata hingga gua-gua persembunyian. Para tenaga kerja yang dipaksa ini disebut Romusha. Di wilayah pendudukan, tentara Jepang menjalankan romusha hingga ke pelosok desa-desa. Tercatat lebih dari 300.000 orang dari Jawa yang dikirim menjadi romusha di berbagai negara di Asia Tenggara. 70.000 orang diantaranya mati mengenaskan. Diantara para romusha itu adalah para perempuan yang dipekerjakan sebagai wanita penghibur (Jugun Ianfu).


Politik mobilisasi dan kontrol pemerintah fasis Jepang, juga dalam usaha menggenjot produksi hasil pertanian untuk keperluan ekonomi perang  (Tauchid 1952, Kurasawa 1988, 1993). Produksi kayu jati dan perkebunan diserahkan sepenuhnya ke pemerintah. Sistem-sistem agraria warisan kolonial berubah secara drastis, karena pemerintah memobilisasi rakyat desa untuk menduduki tanah-tanah partikelir, perkebunan-perkebunan milik asing, dan tanah kehutanan, dan kemudian menganjurkan rakyat menggarap tanah-tanah tersebut menjadikannya lahan pertanian. Sebagian besar rakyat desa Jawa pada awalnya mendukung kebijakan ini, yang dianggap sebagai wujud balas dendam terhadap perampasan tanah dan penindasan kolonial Belanda di era sebelumnya. Namun kemudian mereka menyadari bahwa hal ini adalah bentuk penindasan lainnya, karena mereka dipaksa harus bekerja dan menyerahkan sebagian hasil kerja, ternak, makanan dan produk pertanian lain kepada pemerintahan militer Jepang. Selain itu, harus disetor pula hasil-hasil perkebunan dan usaha kehutanan yang masih hidup, dan menyerahkan semua bahan besi atau logam untuk dilebur bagi keperluan produksi senjata perang. 

Setelah menghadapi protes-protes dan perlawanan rakyat, hingga bentrokan-bentrokan anti-Jepang di sana-sini, penguasa militer Jepang menawarkan elite-elite pemimpin politik yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia berkolaborasi. Pemimpin militer Jepang, Jendral Kumakici Harada, membentuk suatu badan untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia Dokuritsu Junbi Coosakai, termasuk bertugas menyusun dasar negara dan Undang-undang Dasar. Sukarno dan Mohammad Hatta adalah dua dari sejumlah tokoh politik lainnya yang kerja secara kolaborasi untuk perjuangan kemerdekaan, sementara tokoh-tokoh lain memimpin perjuangan non-kolaborasi di bawah tanah.

Perjalanan perang Jepang melawan pasukan-pasukan Sekutu (termasuk Amerika, Inggris, Belanda, Perancis, dan Australia) berakhir dengan kalah dan menyerahnya Jepang pada 14 Agustus 1945, setelah Amerika menjatuhkan bom atom di dua kota, yakni Hiroshima dan Nagasaki. Tanggal 7 Agustus 1945 BPUPKI berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indoensia). Para pemimpin pejuang bawah tanah non-kolaborasi pun menyambut kekosongan kekuasaan politik secara nasional ini, termasuk  sejumlah pemuda revolusioner memaksa Sukarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Sidang-sidang PPKI merumuskan dasar-dasar negara baru, termasuk bagaimana pembentukan negara baru difungsikan untuk mengoreksi politik agraria kolonial. Naskah yang dibuat oleh PPKI “Soal Perekonomian Indonesia Merdeka” dapat dipandang sebagai naskah rujukan utama yang menyebut secara eksplisit agenda land reform sebagai agenda bangsa. Naskah pendek ini menguraikan ketetapan-ketetapan penting bagaimana perekonomian Indonesia merdeka dibangun, termasuk dinyatakan secara jelas bahwa tanah adalah faktor produksi utama bagi rakyat Indonesia, maka tanah harus di bawah kekuasaan negara. Tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan perorangan untuk menindas dan memeras orang lain.

Sidang PPKI pada 18 Agustus, menetapkan konstitusi Republik Indonesia, disebut Undang-undang Dasar 1945. Sementara Sukarno dan Hatta secara resmi diangkat menjadi Presiden dan Wakil Presiden, PPKI diubah nama menjadi KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), lembaga tertinggi negara sementara. Kemudian, pemerintahan Republik Indonesia yang baru adalah suatu Kabinet Presidensial mulai bertugas pada 31 Agustus 1945. 

Arsip

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. "Soal Perekonomian Indonesia Merdeka". 1945

Daftar Pustaka
 
Eng, van der P.  2008. "Food Supply in Java during War and Decolonisation, 1940-1950"MPRA Paper No. 8852. (Unduh terakhir pada 07 Agustus 2010)
Hartono, A. Budi, dan Dadang Juliantoro. 1997. Derita Paksa Perempuan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 
Hatta, Mohammad. 1948. “Keterangan Pemerintah di Depan KNIP”, 2 September 1948.
Jaringan Advokasi Jugun Ianfu Indonesia (JAJI). 2010. Menggugat Negara Indonesia atas Pengabaian Hak-hak Asasi Manusia (Pembiaran Jugun Ianfu sebagai Budak Seks Militer dan Sipil Jepang 1942-1945. Jakarta: Komnas Perempuan.
Poesponegoro, Marwati Djoened, dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Jepang dan zaman Republik Indonesia 1942-1998. Jakarta: Balai Pustaka. 
Kurasawa, Aika. 1988.  “Mobilization and Control. A Study of Social Change in Rural Java, 1942-1945”. Unpublished PhD-thesis, Cornell University, Ithaca.
_______. 1993. Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa, 1942-1945. Jakarta: Grasindo.
Sato, Shigeru. 1994. War, Nationalism and Peasants: Java under the Japanese Occupation 1942-1945. Sydney: Allen and Unwin.
Tauchid, Mochammad. 1952. Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat. Djakarta: Penerbit Tjakrawala. 
_______. 2009. Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. Yogyakarta: Pawarta.
_______. 2010. Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional.
______. 2010. Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. Jakarta: Bina Desa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar